fk@fk.uns.ac.id +62 271 664178

Reorganisasi dan Revitalisasi Program Keterpaduan KB Kesehatan (Posyandu) di Era Desentralisasi

dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, M.Kes

Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Sejak tahun 1981 Departemen Kesehatan dan BKKBN sepakat melaksanakan Program Keterpaduan KB-Kesehatan yang tertuang dalam instruksi Bersama Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN tentang Intensifikasi Pelaksanaan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana di Daerah-Daerah. Kemudian tahun 1985 disepakati Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sebagai wadah operasional pemberdayaan masyarakat di bidang KB-Kesehatan yang dituangkan dalam instruksi bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN tentang Penyelenggaran Pos Pelayanan Terpadu. Selanjutnya guna meningkatkan mutu penyelenggaraan Posyandu, Tahun 1990 diterbitkan instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1990 tentang Pembinaan Mutu Posyandu.

Tujuan Program Keterpaduan KB-Kesehatan adalah untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi, anak balita, ibu melahirkan dan penurunan angka kelahiran dalam rangka mempercepat terwujudnya NKKBS (sekarang Keluarga Berkualitas). Sedangkan sasaran Program Keterpaduan KB-Kesehatan adalah: bayi, anak balita, ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, pasangan usia subur (PUS) dan wanita usia subur (WUS).

Nilai strategis yang ingin dibudayakan melalui pendekatan ini adalah keterpaduan pengembangan sumber daya manusia sedini mungkin dengan peran serta masyarakat. Tujuan akhir program adalah terjadinya perubahan perilaku kesehatan yang terwujud dalam praktik-praktik individual. Praktik-praktik ini merupakan tindak lanjut penerimaan dan pemahaman makna inovasi. Sebagai konsekuensi positif dari perubahan perilaku ini, diharapkan secara simultan terjadinya peningkatan jumlah pengguna fasilitas-fasilitas kesehatan pedesaan, terutama Posyandu dan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)-Desa Siaga semaksimal mungkin.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari Program Keterpaduan KB-Kesehatan (Posyandu) yaitu : (1) Walaupun sumber daya tiap program terbatas, namun karena kegiatan dilaksanakan secara terpadu, maka masing-masing program dapat mencapai hasil yang optimal, (2) Masyarakat memperoleh kemudahan pelayanan KB-Kesehatan pada waktu dan tempat yang sama, (3) Dicapai peningkatan hasil guna dan daya guna sumber daya, (4) Dihindari pemborosan waktu dan sumber daya masyarakat, dan (5) Cakupan pelayanan menjadi lebih luas dan lebih besar, sehingga dipercepat terwujudnya peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi, anak balita dan terwujudnya Keluarga Berkualitas.

Pelayanan Posyandu meliputi pelayanan teknis medis serta pelayanan promosi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan komunikasi interpersonal/konseling (KIP/K) dari 5 (lima) program utama. Jenis kegiatan pelayanan terdiri atas: (1) Pelayanan KIA: pemeriksaan kehamilan, ibu menyusui, dan kesehatan balita, serta promosi dan komunikasi interpersonal/konseling (KIP/K) KIA, (2) Pelayanan Imunisasi: pemberian imunisasi terhadap ibu hamil dan bayi serta promosi dan komunikasi interpersonal/konseling (KIP/K) imunisasi, (3) Pelayanan gizi: penimbangan balita, pemberian paket pertolongan gizi, serta promosi dan komunikasi interpersonal/konseling (KIP/K) gizi, (4) Pelayanan KB: pemeriksaan ulang akseptor, pelayanan alat dan obat kontrasepsi serta komunikasi informasi dan edukasi (KIE) dan komunikasi interpersonal/konseling (KIP/K) KB, (5) Pelayanan P2 diare: pemberian oralit, pembuatan LGG serta pelayanan klinik sanitasi di luar gedung dan promosi kesehatan lingkungan.

Berbagai hasil telah dicapai Program Keterpaduan KB-Kesehatan: cakupan tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan balita (D/S), cakupan universal child immunization (UCI), dan pemeriksan ibu hamil ke-4 (K4) rata-rata di atas 80%, serta tingkat kepesertaan KB (PA/PUS) rata-rata di atas 60 % dan pencegahan dan pemberantasan diare (P2 Diare) rata-rata terkendali. Sedangkan. Perkiraan angka kelahiran total (total ferlity rate/TFR) per-wanita usia subur: 2,6 (1995-2000), angka kematian balita (AKBa): 81 (1993), angka kematian kasar per 1.000 penduduk: 7,5, dan estimasi angka harapan hidup (AHH) rata-2 bangsa Indonesia telah meningkat: 64,3 (1997). 64,3 (1997), 66,2 th (2004), 69,8 th (2005), 70,2 th (2006) dan 70,5 th (2007) (Departemen Kesehastan, 2007).

Beberapa masalah dalam pelaksanaan Program Keterpaduan KB-Kesehatan di era desentralisasi adalah: (1) Program Keterpaduan KB-Kesehatan belum merupakan prioritas program pemerintah, anggaran pembangunan belum bertambah dan belum memadai, sehingga program yang bisa dijalankan terbatas; (2) Koordinasi program antar sektor masih belum berjalan seperti yang diharapkan; (3) Kegiatan Program Keterpaduan KB-Kesehatan dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi perlu disesuaikan. (4) Jumlah indikator yang ingin dicapai oleh setiap sektor cukup banyak dan tingkat pencapaiannya berbeda-beda. Kondisi yang diharapkan adalah disepakatinya indikator minimal yang harus dicapai oleh program KB-Kesehatan disesuaikan dengan Milenium Development Goals. Indikator tersebut adalah: (a) Maternal Mortality Ratio, (b) Child Mortality Rate, (c) Total Fertility Rate, (d) Peningkatan peran serta masyarakat dalam Program Keterpaduan KB-Kesehatan, dan (e) Human Development Index (HDI). Sedangkan indikator program KB yang telah disepakati secara nasional adalah : penurunan unmet need KB, cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate/CPR), persentase kegagalan dan komplikasi pemakaian kontrasepsi, persentase dari tiap jenis kontrasepsi yang digunakan.

Adapun hasil program Keterpaduan KB-Kesehatan adalah: (1) KB: angka kesuburan total (total fertility rate/TFR) sebesar 2,6 per perempuan (SDKI, 2002-2003), cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate, CPR) adalah 48% (1987), 57% (1997) dan 60,3% (2002), dan unmet need : 12,7% (1991), 10,6% (1994), 9,2% (1997), 8,6% (2002/03), dan 9,1 % (2007), (2) KIA: AKI masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, dengan penurunan sangat lambat. AKI berdasarkan SDKI: 390 per 100.000 KH (1994), 334 per 100.000 KH (1997), 373 per 100.000 KH (1998), 307 per 100.000 KH (2002-2003), 270 per 100.000 KH (2004), 262 (2005), 255 (2006) dan 248 (2007), sementara pada tahun 2010 ditargetkan menjadi 125 per 100.000 KH. Angka Kematian Bayi (AKB) berdasarkan SDKI: 41 per 1.000 kelahiran hidup/KH (1998), 35 per 1000 KH (SDKI, 2002-2003), 30,8 per 1.000 KH (2004), 29,4 (2005), 28,1 (2006) dan 26,9 (2007). AKB masih di atas negara-negara seperti Malaysia (10), Thailand (20), Vietnam(18), Brunei (8) dan Singapura (3). Walaupun demikian AKB tersebut sudah menurun sebesar 41% selama 15 tahun ini yaitu dari 59 per 1000 KH pada tahun 1989-1992, menjadi 35 per 1000 KH pada tahun 1998-2002 (SDKI). (6) Imunisasi: muncul kembali dan merebahnya penyakit polio pada pertengahan Maret 2005 di Provinsi Jawa Barat (seluruhnya 59 kasus), ditemukan bahwa belum semua bayi mendapatkan imunisasi polio yang pada umumnya diperoleh di Posyandu. Hal ini memperlihatkan bahwa Posyandu belum berjalan atau belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat. (7) Gizi: prevalensi balita kekurangan energi dan protein (KEP): 23,1% (1997), 25,8% (2003), 24,7% (2005), 23,6% (2006) dan 21,9% (2007).

Undang-undang RI No.22/1999 yang kemudian disempurnakan oleh Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lahir dalam situasi reformasi, pada dasarnya menawarkan perubahan penting. Perubahan yang dimaksud yaitu mengubah skema sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi) dan mengubah dari pendekatan top-down menjadi bottom-up. Desentralisasi menjadi pintu pembuka bagi proses kreativitas, kemandirian, dan pengembangan institusi lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas nasional. Roh atau elane desentralisasi adalah demokratisasi, pelayanan prima, dan pemberdayaan masyarakat. Otonomi daerah hendaknya tidak diartikan otonomi pimpinan daerah, namun sebagai desentralisasi dalam arti peningkatan peran serta daerah yang lebih besar dan lebih bertanggungjawab. Penekannya bukan dalam hak tetapi dalam kewajiban, sehingga perlu didukung oleh peningkatan kemampuan

Kunci keberhasilan Program Keterpaduan KB-Kesehatan pada era sentralisasi adalah: (1) Adanya komitmen dan dukungan politis Pemerintah Daerah di semua tingkatan pemerintahan, (2) Adanya kerjasama kemitraan lintas program di masing-masing dinas/instansi di semua tingkatan pemerintahan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota maupun tingkat kecamatan, (3) Adanya kerjasama kemitraan lintas sektor di semua tingkatan pemerintahan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota maupun tingkat kecamatan, (4) Adanya komitmen, dukungan, keperdulian dan keikutsertaan pemerintah desa/kelurahan serta lembaga kemasyarakatan yang ada di desa/kelurahan seperti LKMD (sekarang LPMD/LPMK), PKK, karang taruna dan lain-lain, (5) Adanya dukungan sumber daya program yang memadai, (6) Diselenggarakannya rapat koordinasi (Rakor) Program Keterpaduan KB-Kesehatan secara berjenjang di semua tingkatan pemerintahan baik di tingkat provinsi, kabupaten/ kota maupun tingkat kecamatan yang ditindak lanjuti sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab serta dipantau pelaksanaannya, (7) Dilakukan pembinaan, pembimbingan, dan pemantauan pada berbagai tingkatan administrasi pemerintahan sampai tingkat desa/kelurahan yang ditunjang oleh alat tilik yang diumpan balikkan, (8) Dilakukan pendidikan dan pelatihan kader serta pembinaan, pembimbingan dan pemantauan kegiatan kader secara periodik, berkesinambungan, terarah dan terencana yang ditunjang oleh sarana kegiatan kader sepreti buku pegangan kader, buku kegiatan kader, pencatatan dan pelaporan, serta adanya pengakuan dan penghargaan dan diberi insentif kader seperti pemberian sertifikat pendidikan dan pelatihan kader, pemberian piagam penghargaan kepada kader teladan, pakaian/kaos kader, kartu berobat gratis kader, PIN, uang transport kader, an lain-lain.

Strategi reorganisasi dan revitalisasi Program Keterpaduan KB-Kesehatan di era desentralisasi: (1) Memantapkan kembali komitmen dan dukungan daerah dan re-branding Program Keterpaduan KB-Kesehatan, serta menjadikan Program Keterpaduan KB-Kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia sedini mungkin, (2) Melaksanakan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat dengan metode pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) dalam pengembangan Program Keterpaduan KB-Kesehatan yang sekarang telah dikembangkan menjadi program Desa Siaga, (3) Melakukan reorganisasi dan revitalisasi manajemen Program Keterpaduan KB-Kesehatan di berbagai tingkatan administrasi pemerintahan, lintas program, dan lintas sektor terkait, (4) Meningkatkan, mengembangkan, dan memantapkan ketahanan keluarga melalui kelompok-kelompok kegiatan masyarakat (Poktan) seperti BKB, BKR, BKL dan UPPKS didukung upaya KIE/konseling dan penteladanan, (5) Memperkuat SDM operasional Program Keterpaduan KB-Kesehatan, (6) Meningkatkan pembiayaan Program Keterpaduan KB-Kesehatan, serta (7) Reorganisasi dan revitalisasi pelaksaan Protap/SOP Program Keterpaduan KB-Kesehatan dan penyelenggaraan Posyandu sistem 5 (lima) meja secara konsekuen dan berkelanjutan.

Adapun langkah-langkah upaya reorganisasi dan revitalisasi Program Keterpaduan KB-Kesehatan di era desentralisasi meliputi: (1) Mengukuhkan dan mengokohkan kembali Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala desa/Lurah sebagai penanggungjawab Program Keterpaduan KB-Kesehatan di masing-masing tingkatan, (2) Mengaktifkan kembali rapat koordinasi Program Keterpaduan KB-Kesehatan di semua tingkatan administrasi pemerintahan mulai tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan yang ditindak lanjuti sesuai dengan kewewenangan dan tugasnya serta dipantau pelaksanaannya, (3) Reorganisasi dan revitalisasi manajemen Program Keterpaduan KB-Kesehatan di dinas kesehatan kabupaten/kota, sektor KB, dan Puskesmas, (4) Reorganisasi dan revitalisasi wadah koordinasi lintas sektor Program Keterpaduan KB-Kesehatan di semua tingkatan administrasi pemerintahan, (5) Mengupayakan alokasi sumber daya Program Keterpaduan KB-Kesehatan yang memadai dan mencukupi dalam APBD (kesepakatan para Bupati/Walikota tanggal 28 Juli 2000 untuk menyediakan alokasi dana kesehatan minimal 15% dari APBD atau 5% dari pendapatan domestik regional bruto/PDRB), (6) Reorganisasi dan revitalisasi pelaksanaan prosedur kerja tetap (Protap)/standard operating procedure (SOP) program keterpaduan KB-Kesehatan dan pelayanan KB-Kesehatan di Posyandu dengan sistem 5 (lima) meja, (7) Melakukan pelatihan ulang (refreshing) kader Posyandu setiap tahun dan mengupayakan pemberian insentif materiel untuk kader Posyandu, (8) Menggali, menghimpun, dan mengorganisasi sumber daya Program Keterpaduan KB-Kesehatan dari masyarakat dan dunia usaha termasuk pendanaan, (9) Melakukan pembinaan dan pemantauan pelaksanaan Program Keterpaduan KB-Kesehatan secara berjenjang di setiap tingkat administrasi pemerintahan secara periodik, berkesinambungan, terarah dan terencana yang ditunjang oleh alat tilik yang diumpan balikan.

Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota telah menetapkan bidang kesehatan serta keluarga berencana dan keluarga sejahtera adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar.

Kata kunci : Keterpaduan KB-Kesehatan (Posyandu), Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kelahiran Total (Total Ferlity Rate/TFR), Cakupan Pelayanan KB (Contraceptive Prevalence Rate, CPR)/Tingkat Kesertaan KB (PA/PUS, Umur Harapan Hidup.
index penelitian dosen